Surat Blog Untuk Guru

Menemui Mak Cik Maryamah binti Zamzami
di Belitong

Bismillahrirrahmaanirrahiim.
Assalaamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Semoga Mak Cik selalu dalam keadaan sehat wal afiat. 
Mungkin Mak Cik bingung, gerangan siapakah aku ini dan perkara apa sampai perlulah Mak Cik dikirimi surat pula. Sebelumnya, perkenalkan Mak Cik, Namaku Yusuf Fauzi Ahsani, pemuda 25 tahun yang tinggal di Jakarta. Mengenai keperluan surat menyurat ini akan kucoba jelaskan sedikit.

Jadi begini Mak Cik, tanggal 25 November adalah peringatan Hari Guru Nasional. Dan pada hari ini, Komunitas Blogger UNJ memilih tema Surat Blog Untuk Guru. Nah, apa pula Komunitas Bolgger UNJ ini? Mak Cik tentu bertanya-tanya. Komunitas Blogger UNJ atau biasa disebut KOMBUN untuk singkatnya ini adalah sekumpulan pemuda (dan pemudi, bahkan lebih banyak pemudinya kalau aku tidak salah) yang memiliki kesukaan menulis. Terutama menulis di wadah Blog ini Mak Cik. Apalah Blog itu? Mak Cik tentu sudah tahu internet bukan? Dulu ketika Pak Cik Ikal membantu Mak Cik untuk bisa bermain catur, itu juga lewat internet Mak Cik. Nah, Blog ini adalah semacam kumpulan catatan yang dimuat di internet itu tadi. Begitulah mudahnya Mak Cik. Kalau Mak Cik bingung, tak usahlah diambil pusing. Lanjutkan saja baca surat ini. 

Mak Cik mungkin juga punya pertanyaan berikutnya. Kenapalah pula surat untuk Guru ini ditujukan kepada Mak Cik? Ya, mungkin beberapa orang juga akan bertanya demikian. Semestinya surat ini ditujukan kepada Guru-guru yang ada di sekolah. Guru-guru yang pernah mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku. Terutama Guru kesukaan. Ya, Mak Cik, aku pun sempat berpikir demikian. Ada satu Guru kesukaanku dulu ketika di sekolah menengah atas. Beliau mengajar pelajaran Kewarganegaraan. Wiyati namanya. Beliau ada di ujung pulau Sumatera, di Lampung. Sempat terlintas bahwa surat ini kutujukan saja kepada beliau. Tapi setelah kupikir ulang, aku masih bisa bertemu dengan beliau ketika pulang kampung sewaktu lebaran nanti. Insha Allah. Maka kuputuskan untuk mengirimkannya kepada kau, Mak Cik. Karena mungkin saja kita tak akan pernah punya kesempatan untuk berjumpa.

Nampaknya Mak Cik masih bingung karena Mak Cik bukanlah seorang guru melainkan hanya pendulang timah liar. Untuk yang satu ini izinkan aku untuk berlepas dari pengertian guru sebagai pekerjaan. Biarlah berbeda dengan yang lain. Aku punya alasan sendiri. Aku punya definisi sendiri tentang Guru. Bagiku, Mak Cik, Guru adalah mereka yang mengajarkan sesuatu pada siapapun. Baik itu dari pengalaman mereka, ilmu mereka atau bahkan juga kisah hidup mereka. Dan yang terakhir tadi adalah alasan kenapa aku memilih Mak Cik sebagai salah satu Guruku. 

Seperti yang pernah diceritakan Pak Cik Ikal, dulu ketika Mak Cik masih duduk di bangku sekolah dasar, Mak Cik suka sekali dengan pelajaran Bahasa Inggris. Dan Ayahanda Mak Cik, Pak Cik Zamzami (kalau boleh izinkan aku untuk memanggil beliau dengan Pak Cik), bekerja sangat giat sekali, karena tahu anak sulungnya suka dan pintar dalam pelajaran Bahasa Inggris, untuk memberikannya kejutan berupa Kamus Bahasa Inggris Dua Milyar. Dan ketika sudah terbeli kamus itu betapa harunya wajah Pak Cik Zamzami melihat Mak Cik mengeja kata demi kata yang ada di dalam kamus itu walaupun barang tak sehuruf pun Pak Cik Zamzami paham maksudnya. Jangankan untuk Bahasa Inggris, tulisan latin dalam Bahasa Indonesia pun  Pak Cik Zamzami tak kuasa mengejanya karena memang Pak Cik semenjak dari belia sampai tua tak pernah mengenyam pendidikan. Sama nasibnya seperti sebagian rakyat Indonesia di pelosok tanah air ini. Padahal, bukankah amanat mencerdaskan bangsa ada di Pembukaan UUD 1945? 

Ingatkah Mak Cik segera setelah Mak Cik menerima hadiah tak ternilai itu, Pak Cik Zamzami meminta untuk diajari satu atau dua kata dari kamus yang isinya dua milyar kata itu. Sacrifice, Honesty, Freedom. Itulah kata yang kau ajarkan kepada ayahandamu. Senang bukan kepalang, Pak Cik Zamzami selalu mengingat kata-kata itu. Bahkan dibanggakannya di depan rekan-rekan sejawat seprofesi penambang timah liar lainnya bahwa kau adalah anak yang membanggakan. Betapa membahagiakannya bukan? 
Tetapi kemudian, hari itu adalah hari yang berbeda. Mendung menggelayut di cakrawala Belitong. Lalu hujan turun lebat sekali. Dan kabar duka itupun datang. Seorang tetangga tergopoh-gopoh masuk halaman rumah menyampaikan bahwa Pak Cik Zamzami terkena musibah. Ia tertimbun tanah longsor. Inilah resiko paling berbahaya dari pekerjaan penambang timah liar. Dengan hasil yang tak seberapa tapi taruhannya nyawa. Pak Cik Zamzami tak bisa diselamatkan dan hari itu adalah hari terakhir kau bertemu ayahandamu. 

Sepeninggal Pak Cik Zamzami, kau yang anak sulung mengambil tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, padahal waktu itu kau masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Dan seketika itu pula kau memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah karena harus bekerja. Di usia yang sangat belia. Kemiskinan bisa sangat kejam terhadap manusia. Tak peduli kau masih kanak atau sudah dewasa. Tak peduli bahwa kau punya mimpi. Tak peduli kau sangat suka Bahasa Inggris. Tak pernah barang sedetik pun. Kesana kemari kau mencari pekerjaan. Tapi siapalah yang mau mempekerjakan anak putus sekolah dasar yang masih sangat muda tanpa pengalaman secuil pun? Maka akhirnya kau ke belakang rumah dan meraih dulang peninggalan ayahanda dan berangkat mendulang timah di pertambangan timah liar. Aku tahu dari cerita Pak Cik Ikal, mendulang timah bagi orang dewasa saja bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi bagi anak sekecil Mak Cik waktu itu. Kau harus membenamkan tubuhmu di lumpur setinggi dada, berendam seharian di sana mendulang timah. Jika kau beruntung, kau akan mendapati segenggam atau dua genggam timah yang dihargai sangat murah, hanya tujuh ribu rupiah saja. Jika tidak beruntung, kau hanya akan mendapatkan lumpur saja seharian. Tapi kau tidak pernah menyerah. Apa jadinya kalau kau menyerah? Siapa yang bakal mencari uang untuk membeli beras untuk makan Ibu dan adik-adikmu? Siapa yang akan membiayai sekolah mereka? Maka kau jalani profesi barumu ini dari hari ke hari. Tak peduli terik atau pun hujan. Sampai kuku-kukumu menghitam dan ujung jarimu mulai mengelupas. Tanpa mengeluh. Demi keluarga.


Bertahun-tahun kau jalani profesi ini. Dan kerja kerasmu berbuah hasil. Adik-adikmu bisa bersekolah sampai tingkat menengah. Itu sudah cukup luar biasa untuk keluarga miskin di salah satu kampung miskin di Belitong. Kemudian kau mengutarakan niatmu kepada Pak Cik Ikal untuk melanjutkan belajar Bahasa Inggris. Dan tempat belajar Bahasa Inggris yang terdekat adalah di Tanjong Pandan, 100 kilometer jaraknya dari kampungmu. Tapi itu bukan masalah bagimu. Kau berangkat ke Tanjong Pandan ditemani oleh Pak Cik Ikal untuk mendaftar di tempat Kursus Bahasa Inggris. Sesampainya di tempat kursus itu kau disambut dengan ramah oleh direktur tempat kursus itu, Bu Indri namanya. Ia takjub dengan semangatmu untuk belajar. Melihatmu yang sudah tak muda lagi tapi masih ingin belajar Bahasa Inggris membuat Bu Indri juga bersemangat. Padahal peserta kursus lainnya hanya seusia anak sekolah menengah atas. Jadilah kau yang paling senior di antara peserta kursus yang lain. Keputusan untuk mengikuti kursus ini bukannya tanpa ujian. Orang-orang mencibirmu. Buat apa seorang pendulang timah liar, pekerja kasar, wanita yang sudah berumur, ikut kursus Bahasa Inggris? Tak ada faedahnya. Buang-buang waktu, kata mereka. Lebih baik waktumu itu kau gunakan untuk mencari pekerjaan yang lebih layak agar hidup lebih baik, tambah mereka. Pak Cik Ikal nampaknya juga punya kegundahan yang sama. Tapi kau sampaikan kepada Pak Cik Ikal, "Ilmu itu meninggikan derajat Boi. Itu yang dijanjikan Allah". Saat itu juga Pak Cik Ikal sadar, bahwa seberat apapun tantangannya, Mak Cik akan tetap mencoba mengatasinya. To challenge the impossible. Mungkin itu bahasa kerennya. 


Hari itu kau mengenekan pakaian terbaikmu dengan kerudung baru berwarna hijau yang sengaja kau beli untuk acara yang sangat istemewa ini; wisuda peserta kursus Bahasa Inggris. Bu Indri menyampaikan dalam pidatonya bahwa tahun ini ada tiga lulusan terbaik dari peserta kursus ini. Bu Indri memanggil satu persatu peserta terbaik untuk naik ke podium. Dua nama awal adalah dua orang siswi sekolah menengah atas. Nama terakhir yang dipanggil oleh Bu Indri membuatmu terkejut. Itu adalah namamu. Oleh Bu Indri kau diminta uuntuk menyampaikan pidato wisudawan terbaik. Ini mungkin satu-satunya pidato yang pernah kau lakukan. Kau menatap sekeliling dan dengan suara yang bergetar kau berkata, "Sacrifice, Honesty, Freedom." Hanya itu tiga kata yang kau ucapkan kemudian kau turun podium dengan disambut tepuk tangan hadirin yang memenuhi aula pertemuan itu. 

Tahukah Mak Cik? Aku malu. Sangat malu. Aku dengan segala fasilitas dan kenyamanan yang ada untuk menimba ilmu, seringkali bermalas-malasan. Seringkali cari alasan. Seringkali terucap keluhan. Kisah hidupmu ini menmparku untuk bangun. Bahwa hidup tidak boleh berisi kesia-siaan. Bahwa segala tantangan mungkin untuk ditaklukan. Bahwa perjuangan selalu satu paket dengan pengorbanan. Dan jika kita hidup dengan mengenggam kejujuran, kemuliaan akan menjumpai kita dengan senang hati. 

Mak Cik Maryamah, terimalah salam takzimku untukmu. Semoga aku bisa meneladanimu. Semoga aku bisa mengamalkan pelajaran yang kau ajarkan dari kisah hidupmu. Semoga hidupmu berisi kebahagiaan selalu.





                                                                                                             Salam,
                                                                                                             Yusuf Fauzi Ahsani.




P.S. Aku tak peduli dibilang mengidap penyakit gila no.27, menganggap tokoh fiksi itu nyata. HAHAHA. Bagiku, selama aku masih bisa mendapatkan pelajaran, aku akan menerimanya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Fiqh Dakwah

Renjana.