Posts

Showing posts from 2015
Ketika melihat diri sendiri dan bertanya, "Apakah saya sudah pantas untuk menjadi seorang suami?" jawaban jujurnya adalah belum. Lantas, kenapa berani untuk meminta orang tua untuk melamarkan anak kesayangan dari sebuah keluarga? Dulu, jawabannya naif sekali, karena kalau menunggu siap dulu saya (mungkin) tak akan pernah jadi menikah. Karena kalau setelah melamar saya akan jadi lebih baik. Karena setelah melamar saya akan berubah. Pertanyaan selanjutnya, sudahkah jawaban-jawaban tadi menjadi nyata? Jawaban jujurnya adalah belum. Shalat berjamaah saya masih bolong-bolong, tak jarang shalatnya di akhir waktu. Saya masih menunda-nunda sesuatu yang mestinya segera diselesaikan. Saya masih pengecut menghindari masalah yang juga butuh diselesaikan segera. Saya masih belum bisa menabung penghasilan saya karena manajemen keuangan saya masih sangat buruk. Pengetahuan agama saya tak bertambah secara signifikan, intinya jika dinilai dengan jujur, saya masih belum serius untuk menyiapkan

Hati-hati

Berbahaya sekali orang yang lalai akan komitmennya atau sengaja atas dorongan keinginan sesaat mengorbankan komitmen yang telah disepakati baik dengan diri sendri maupun bersama orang lain. Berbaya sekali menganggap enteng komitmen dan berpikir komitmen itu hal yang murah yang bisa dibeli kembali dengan kata maaf yang juga murah ketika sudah dilanggar. Harusnya sadar bahwa komitmen itu bakal ditagih pertanggungjawabannya kelak. Dan tak ada yang bisa mengelak. Berhati-hatilah menjaga komitmen.

Alhamdulillah.

In the journey of our life, some people may cross path with ours. At that moment, we know we learned something from them. We have to thank them. I thank them. I thank God.

Renjana.

//rindu// Ketika hela terlalu panjang. Atau ketika jarak terlalu jauh. Glasgow, 1 Rajab 1439 H. Musim dingin. Aku masih memandangi layar monitor yang menunjukkan si Fatih sedang berusaha muraja’ah hafalan An Naba-nya dari surel yang kamu kirim. Karena targetnya ketika masuk SD nanti dia sudah harus menguasai juz 30. Aku tersenyum sendiri. Hafalannya sudah cukup bagus. Namun, makhraj-nya masih ada yang kurang tepat. Maklum, baru tiga tahun. Kemudian kamera mengarah ke arahmu. Wajah yang teduh namun menguatkan. Wajahmu yang dulu ketika aku selesai mengucap ijab qabul, dihiasi titik-titik air di sudut matanya, sambil bibir yang tak berhenti mengucap tahmid dan istighfar karena mitsaqan ghalidha sudah terikrarkan. Wajah yang selalu sumringah, bagaimanapun keadaan kita. Kamu masih ingat ketika tahun pertama kita menikah? Ketika kau baru saja mengandung si Fatih. Saat itu aku masih bekerja sebagai guru bimbel dan waktu itu kamu minta dicarikan mangga muda tengah malam. Ak

Jadi berani, jadilah anak kecil.

Salah satu hal yang membuat hidup kita menderita adalah ketakutan. Ketakutan akan perasaan kecewa, ketakutan akan rasa sakit, ketakutan akan harga diri yang terendahkan, ketakutan akan sesuatu yang tak kita pahami seperti masa depan dan ketakutan-ketakutan lainnya. Betapa tidak menyenangkannya hidup dalam ketakutan. Semua terasa sempit. Sesak. Karena ketakutan tadi, sebagian dari kita memilih untuk lari menghindar. Banyak cara dilakukan untuk menghindari ketakutan tadi. Ada yang menyingkir dari keramaian. Ada yang menghindari dari 'terlihat', stay below the radar. Karena jika mulai naik ke permukaan, orang-orang akan mulai percaya padanya, menaruh harapan padanya. Dan ketakutan akan lahirnya kekecewaan pun muncul. Maka ia memilih to stay below the radar. So that nobody will be disappointed.   Untuk keluar dari rasa takut ini kita sepertinya mesti belajar pada anak kecil. Ingatkah dulu ketika kita sangat penasaran dengan nyala lilin dan berusaha menyentuh lidah apinya. Oran