Jadi berani, jadilah anak kecil.

Salah satu hal yang membuat hidup kita menderita adalah ketakutan. Ketakutan akan perasaan kecewa, ketakutan akan rasa sakit, ketakutan akan harga diri yang terendahkan, ketakutan akan sesuatu yang tak kita pahami seperti masa depan dan ketakutan-ketakutan lainnya. Betapa tidak menyenangkannya hidup dalam ketakutan. Semua terasa sempit. Sesak. Karena ketakutan tadi, sebagian dari kita memilih untuk lari menghindar. Banyak cara dilakukan untuk menghindari ketakutan tadi. Ada yang menyingkir dari keramaian. Ada yang menghindari dari 'terlihat', stay below the radar. Karena jika mulai naik ke permukaan, orang-orang akan mulai percaya padanya, menaruh harapan padanya. Dan ketakutan akan lahirnya kekecewaan pun muncul. Maka ia memilih to stay below the radar. So that nobody will be disappointed.  

Untuk keluar dari rasa takut ini kita sepertinya mesti belajar pada anak kecil. Ingatkah dulu ketika kita sangat penasaran dengan nyala lilin dan berusaha menyentuh lidah apinya. Orang tua kita melarang kita. Karena mereka sudah tahu, jika lidah api itu kita sentuh, maka tangan kita akan terbakar dan rasa sakit akan kita rasakan. Atau ketika tahu, berenang di bekas galian sangat berbahaya. Salah salah bisa terpeleset ke galian yang lebih dalam dan tenggelam. Alhamdulillah, masih ada teman yang melempar batang kayu untuk pegangan, maka masih selamatlah kita. Tapi apakah ketika dulu kita setelah merasakan sakitnya terbakar atau selama sebulan penuh harus bernafas tersengal-sengal karena sakit jika menghela nafas terlalu dalam karena banyak cairan di dalam paru-paru kita, kita berhenti bermain lilin dan berhenti berenang? Jawabannya jelas tidak. Kita justru semakin berani bermain dengan lelehan lilin yang masih cair yang kita teteskan di telapak tangan kita (atau tangan teman kita) dan kita justru kemudian berani berenang di tempat yang lebih berbahaya, di sungai yang deras airnya. Melompat dari atas pohon. Sengaja menghanyutkan diri sendiri mengkuti arus hanya dengan batang pohon pisang yang kita peluk. Kita justru semakin berani. Bukan berarti setelah jadi lebih berani kita jadi tidak merasakan sakit. Kita tetap merasakan sakitnya tersengat panas lilin cair, kita juga masih tenggelam di sungai yang deras, bahkan sempat kaki kita terjepit sela-sela batuan dan hampir mati lagi. hehehehe. Kita merasakan itu semua. Kita berani menemui konskeunsinya. Menerima dan berteman dengannya. Menjadikannya bagian dari hidup kita, proses belajar kita. Mendewasakan kita. 

Akhirnya kita tahu, semua hal tadi mengajarkan kita bagaimana hidup semestinya. Bahwa berlari menghindar tak membuat ketakutan itu hilang. Mengakrabi konsekuensi, seperti anak kecil tadi, adalah jalan keluarnya. Akhirnya kita juga tahu, orang-orang yang berhenti berdewasa adalah orang-orang yang berhenti menjadi anak kecil. Anak kecil yang berani, yang telah akrab dengan konsekuensi tapi terus belajar tak berhenti.  

Comments

Popular posts from this blog

Fiqh Dakwah

Surat Blog Untuk Guru

Renjana.