Renjana.

//rindu//

Ketika hela terlalu panjang. Atau ketika jarak terlalu jauh.

Glasgow, 1 Rajab 1439 H.
Musim dingin.



Aku masih memandangi layar monitor yang menunjukkan si Fatih sedang berusaha muraja’ah hafalan An Naba-nya dari surel yang kamu kirim. Karena targetnya ketika masuk SD nanti dia sudah harus menguasai juz 30. Aku tersenyum sendiri. Hafalannya sudah cukup bagus. Namun, makhraj-nya masih ada yang kurang tepat. Maklum, baru tiga tahun. Kemudian kamera mengarah ke arahmu. Wajah yang teduh namun menguatkan. Wajahmu yang dulu ketika aku selesai mengucap ijab qabul, dihiasi titik-titik air di sudut matanya, sambil bibir yang tak berhenti mengucap tahmid dan istighfar karena mitsaqan ghalidha sudah terikrarkan. Wajah yang selalu sumringah, bagaimanapun keadaan kita. Kamu masih ingat ketika tahun pertama kita menikah? Ketika kau baru saja mengandung si Fatih. Saat itu aku masih bekerja sebagai guru bimbel dan waktu itu kamu minta dicarikan mangga muda tengah malam. Aku cari kemana-mana tapi akhirnya tak dapat. Aku ingat raut mukamu saat itu. Lucu. Karena menahan kesal tapi aku tahu karena kamu terlalu baik, kamu cuma bilang, “Gapapa mas. Yang penting kamu udah usaha. Buatku itu sudah cukup. Karena aku merasa sudah diperjuangkan.”

Diperjuangkan. Perjuangan. Kata inilah yang membuatku selalu bersyukur karena Allah telah memilihkanmu untukku. Kamu telah membuatku menjadi pahlawan karena telah memberikan kesempatan kepadaku untuk memperjuangkanmu. Dan bukankah perjalanan bulan madu kita ke Rinjani juga perjuangan? Waktu itu orang tua kita melarang kita ke sana. Alasannya buat apa jauh-jauh ke sana. Lebih baik uangnya dijadikan modal usaha. Tapi setelah berjuang membujuk orang tua kita, akhirnya kita dapati restu mereka. Aku ingat kata kata yang kamu sampaikan ke orang tua kita waktu itu. Bahwa bulan madu kita ini bukan sekadar perjalanan tamasya saja. Melainkan perjalanan untuk saling mengenal diri kita masing-masing dan satu sama lain. Karena bukankah di gunung tabiat asli kita akan tampak? Kejujuran. Itulah pelajaran berharga berikutnya yang aku dapat darimu.

Di Bogor sekarang sedang musim hujan ya? Semoga Allah senantiasa menjaga kamu dan Fatih. Kamu kan rentan sekali dengan penyakit flu. Tapi kamu memang aneh, sudah tahu gampang flu malah mengajak tinggal di Bogor yang dingin dan sering Hujan. “Aku suka hujan.”, katamu. “Hujan adalah doa. Dan buatku, hujan adalah kebaikan bagi yang datang menyertainya. Entah redanya, pelanginya, petrichor-nya, ataupun sejuknya (Yunus Kuntawi Aji, Teman Imaji).” Kamu memang selalu punya segudang jawaban. Dan aku tak bisa membantahnya. Karena jawabanmu adalah kejujuran.

***

Aku kembali ke jurnal-jurnal yang menumpuk. Kali ini dengan semangat yang berlipat-lipat. Aku harus segera menyelesaikan disertasi ini. Aku ingin segera pulang. Menemuimu. Menemani muraja’ah si Fatih. Menungguimu saat kau melahirkan si kecil Aisyah.




     

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Fiqh Dakwah

Surat Blog Untuk Guru