Kemarin #1

Bismillahirrahmaanirrahiim…

Teringat teman-teman di kampung halaman jadi ingin menuliskan kenangan – kenangan saat bersama mereka.

Tahun 1999

Kebanyak dari mereka adalah teman-teman satu sekolah dasar atau teman satu mushala saat mengaji. Ada ‘Uji’ Fauzi, ‘Gendon’ Tri, ‘Borju’ Barjo, ‘Sisu’ Aris, ‘Bandot’ Hendi, ‘Ndo’ Ikhsan, dan aku sendiri dipanggil ‘Gentong’. Tiap-tiap dari kami memiliki panggilan julukan yang fungsi sebenarnya sebagai nama panggilan ejekan. Contohnya Tri yang dipanggil ‘Gendon’. Dia diberi julukan seperti itu karena memang dia mempunyai tubuh gempal seperti ulat yang ada di pokok pohon kelapa yang sudah ditebang yang biasa kami sebut gendon. Aku sendiri tak tahu kenapa dipanggil ‘Gentong’ bahkan ada yang memanggil ‘Subluk’.

Kami semua adalah penggila sepak bola. Dari semenjak pulang sekolah sampai waktu mengaji menjelang, kami isi dengan bermain bola. Seru sekali waktu itu. Kami tak perlu repot atau susah pergi ke lapangan yang biasa dipakai orang-orang dewasa di desa kami untuk bermain bola. Jika kami menemukan halaman yang cukup luas, kami langsung membuat gawang dengan sandal-sandal jepit kami yang ditumpuk- tumpuk. Dan bermainlah kami ditempat itu semau kami sampai orang- orang tua kami datang membawa kayu untuk menyabet kami karena sudah waktunya mengaji kami masih saja asik bermain bola. Kadang guru ngaji kami sendiri, Pak Mansyur,  yang datang membawa stik rotan legendarisnya untuk mengingatkan kami untuk mengaji. Jika itu terjadi kami langsung berlarian tak keruan ke segala arah menghindari sabetan rotan legendaris dari Pak  Mansyur. Kami langsung pulang ke rumah masing-masing , mandi dan langsung berangkat ke mushala untuk mengaji. 

Di musahala tempat kami mengaji juga tak kalah seru. Setiap hari Kamis kami diajari untuk praktik shalat. Saat praktik shalat inilah kejahilan kami semakin menjadi. Ada yang dengan sengaja memanjangkan seruan ‘aamiin’-nya melolong-lolong bagai serigala yang membuat Pak Mansyur – yang juga Ayah dari teman kami si ‘Uji’ Fauzi yang saat itu jadi imamnya – harus menunggu sekian lama, lebih lama dari biasanya untuk melanjutkan membaca surat pendek. Atau kejahilan kami yang lain saat sedang tasyahud akhir dimana kaki kami yang menjulur keluar sengaja kami gerak-gerakan sehingga teman yang ada disebelah kami pahanya seperti digelitik dan akhirnya tertawa bahkan sampai pernah ada yang ngompol karena menahan geli dan tertawanya. Kami benar-benar benar jahil memang waktu itu. Dan seperti biasa setelah selesai praktik shalat, Pak Mansyur – dengan stik rotan legendarisnya – menggelandang kami ke luar mushalla dan ‘mengeksekusi’ kami satu persatu. Masing-masing dari kami mendapat ‘hadiah’ satu kali pukulan – yang memang cukup keras bagi kami saat itu mengingat kami masih duduk di sekolah dasar – yang mendarat di ubun-ubun kami. Namun, memang dasar kami kelewat bandel, masih saja sempat kami akali hukuman itu. Kopiah yang menutup kepala kami kami angkat agak sedikit ke atas agar pukulan rotannya tidak langsung mengenai ubun-ubun kami. Beberapa dari kami berhasil mengelabuhi Pak Mansyur. Tapi malang nasib teman kami si ‘Gendon’ Tri yang ketahuan dan mendapat pukulan yang lebih keras dari kami sehingga walaupun kopiahnya sudah diangkat, tetap saja stik rotan legendaris itu mampu membobol pertahanan si kopiah. Alhasil, senyum nyinyir terpahat dimuka si ‘Gendon’. Tubuh kami berguncang hebat karena menahan tawa dan takut kalau-kalau nanti kami juga ketahuan dan bernasib sama dengan kawan kami itu.

Kelihatan sedikit menyeramkan memang. Tapi itulah cara mendidik kami yang luar biasa ‘aktif’ ini. Dan di balik sikap beliau yang keras dengan segala disiplinnya itu, beliau adalah seorang Ayah yang sangat penyayang terhadap keluarganya. Dia sangat ramah kepada siapapun. Bahkan kepada kami yang kadang sering membuatnya pusing tujuh keliling. Dan ternyata beliau adalah orang yang lucu. Pernah suatu ketika aku menginap dirumah si ‘Uji’ yang tentu saja adalah rumah beliau karena setelah mengerjakan PR bersama aku memilih untuk menginap  karena memang kami satu sekolah dan satu kelas ketika sekolah dasar, Pak Mansyur mengeluarkan ‘mainan’ buatanya. Ternyata mainan itu adalah alat music. Alat music itu belum pernah aku lihat sebelumnya di dunia. Sangat unik. Desainnya pun istimewa. Alat music itu hanya terbuat dari bamboo berdiameter sedang – sekitar 4-5 cm – yang dibuat sedikian rupa sehingga dapat menghasilkan bunyi orchestra yang harmoni walaupun sangat sederhana. Dari satu alat music itu dalam keluar macam bunyi: bunyi kendang, dan bunyi dawai. Awalnya aku heran, bagaimana cara memainkannya? Pak Mansyur langsung beraksi seolah tau pertanyaan batinku tadi. Dan waw! Beliau sungguh piawai memainkan orchestra bamboo sederhana itu. Suara harmoni dan tempo yang pas – yang kadang cepat dan akdang lambat – membuat kami terpesona. Beliau membawakan shalawat Badar sambil memainkan alat itu. Bukan main guru ngaji yang satu ini. Ternyata beliau sangat kreatif. Kami (aku, Uji, ibunya uji dan adik-adiknya Uji) pun akhirnya ikut bershalawat Badar. Dan jadilah malam itu salah satu malam yang sangat sulit untuk dilupakan.       

Comments

Popular posts from this blog

Fiqh Dakwah

Surat Blog Untuk Guru

Renjana.