Debu di Udara

"Perkenalkan, nama saya Debu, Debudiudara"

Kenapa Debudiudara? Kenapa tidak mutiara di dasar laut? Kenapa tidak bintang di langit? Kenapa bukan embun pagi?

Semua orang seperti mendengar sesuatu yang asing ketika nama itu kusebut. Tak kurang, kernyit juga menambah hiasan wajah heran dan selanjutnya pertanyaan-pertanyaan tadi muncul. Namaku dulu bagus, Buih, Buihdilautan. Romantis bukan? Apalagi ketika malam dengan langit cerah serta purnama penuh. Aku akan terlihat semakin mempesona. Tapi, lama kelamaan, ketika aku renungi makna dari namaku ini, aku mendadak ingin segera ganti nama. Aku tak mau lagi memakai nama itu lagi. Aku mau nama yang baru.

Memang ada apa dengan nama itu? Bukankah seperti yang kau bilang tadi, namamu romantis? Apalagi ketika malam dengan langit cerah serta purnama penuh.

Kau tahu, kenapa aku tak sudi lagi memakai nama itu? Karena ia perlambang sesuatu yang lemah, hina, tak bisa apa-apa. Memang nama itu bagus. Apalagi ketika malam dengan langit cerah serta purnama penuh. Tapi bisa apa dia? Dia bukan Gelombang, bukan Tsunami. Dia berbeda dari mereka. Mereka kuat. Mampu menenggelamkan kapal dan menghanyutkan ribuan manusia dalam sekejap. Buih, Buihdilautan bisa apa? Hadir kemudian menghilang, tanpa arti tanpa bekas. Itu pun hanya sekejap. Pathetic, kata orang Inggris.

Lalu, kau pilih nama Debu, Debudiudara? Apa bagusnya? Sama saja kupikir.

Sebagian orang yang baru mengenalku mungkin akan mengira demikian. Memang sedikit mirip. Tapi dengan hanya sedikit kemiripan tadi bukankah berarti juga ada perbedaan? Aku dulu memang Buih, Buihdilautan. Tapi aku sekarang Debu, Debudiudara.

Ya, memang, banyak sekali debu di udara. Aku hanya  bagian kecil dari debu-debu yang berterbangan. Yang masih sangat mudah dikendalikan oleh angin. Yang kemudian masuk got ketika hujan mengguyur. Yang disedot vacuum cleaner kemudian dibuang keluar, tertiup angin, dan masuk got juga ketika hujan kembali mengguyur. Yang terusir oleh kemoceng, tertiup angin dan berakhir di got ketika hujan mengguyur.

Tapi aku adalah Debu kecil yang nakal. Debu kecil yang bandel dan keras kepala. Aku tak mau begitu saja terusir kemoceng, tersedot vacuum cleaner, tertiup angin dan terguyur hujan kemudian masuk got. Jika memang harus berakhir di got, aku akan terus kembali bangkit dan berterbangan lagi. Masuk ke mata orang-orang. Membuat orang-orang tidak nyaman. Terutama orang-orang itu. Orang-orang perlu sesekali mengucek matanya dan kemudian melihat lebih jelas bahwa disekelilingnya masih banyak ketidak-adilan, kesewenang-wenangan. Agar orang-orang itu sadar, bangun dari mimpinya, kalau orang-orang itu tidak hidup sendiri. Bahwa hidupnya berdampak bagi kehidupan orang lain. Bahwa keputusan-keputusan yang orang-orang itu buat, besar pengaruhnya terhadap hajat hidup orang banyak. Setidaknya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

Aku masih akan terus belajar. Belajar untuk menjadi lebih besar lagi, lebih hebat lagi. Menjadi pasir. Pasir yang siap diaduk dengan semen, batu koral, besi-besi berkarat dan air untuk menjadi bangunan yang besar, yang kokoh, yang monumental. Yang ketika orang melihatnya, orang-orang akan berdecak kagum. Ketika orang-orang melihatnya, mereka akan tergugah, bergerak, kemudian berkarya semampu mereka, sekuat tenaga. Sehingga bangsa ini memiliki karya-karya monumental yang akan membuat bangsa lain hormat, takjub.

Itulah aku, Debu, Debudiudara. Siapakah kamu?
     

Comments

Popular posts from this blog

Fiqh Dakwah

Surat Blog Untuk Guru

Renjana.